Beni Setia **
SUDAH sejak lama orang berpikiran, kalau membuat puisi itu hanya bermain
kata-kata, membuat penggalan-penggalan kalimat dengan rentetan (keberadaan)
kata-katanya itu sengaja dihadirkan dan diikat oleh semacam hukum permainan bunyi
yang diulang-ulang, persanjakan. Acuan sederhana kreasi yang melahirkan banjir
produksi, dan melahir sinisme tentang ujud kepenyairan yang terkesan melulu
menginpetarisasi orang nyinyir yang suka mrepet kelewat cinta
persanjakan–persamaan bunyi vokal di antara sederet konsonan yang tak
berharga–, yang obsesif mengutamakan keberadaan tenun-berkait persanjakan tanpa
ambekan menghadirkan hal yang riil dan bermakna, yang misterium dan
menggetarkan–seperti yang dengan gagah digagas oleh seorang Sutardji Calzoum
Bachri pada dekade 1970-an, dan dianggap terobosan estetik luar biasa. Tapi
obsesi akan makna, dan terutama mantra itu, dalam ujud puisi yang ingin
menghadirkan yang mesterium dan menggetarkan itu, dan yang kemudian dikurung
dalam bangunan serangkai kata-kata bersanjak itu, telah lama terlupakan. Bukan
sia-sia, tapi ternyata di dunia ini tak terlalu banyak hal atau eksistensi yang
misterium dan menggetarkan yang selalu tersedia, bersedia dan bisa dijaring
dengan perangkat kata-kata bersanjak.
Di luar itu banyak orang yang cuma nyinyir berceloteh setengah mabuk dalam
riang berkumpul bersama kawan di masa SMP atau SMA dahulu, atau dalam reuni
dengan kawan lama sambil menenggak bir dan makan kacang, sambil mengenangkan
aneka peristiwa yang hanya dikenal sebagai rahasia di antara mereka, lantas
mengigau tentang rutin kini dalam kalimat bersanjak: tiap hari lari pagi sambil
cari nasi kari dari panci plastik lilak, sambil minta air sari sapi–nanti nadi
jadi api bagi air mandi. (Versi yang lebih nakal, dingin-dingin nyi ii pipis di
pipir di sisi tritis diintip kiciwis bikin miris wiiss wiiss wiiss nyi ii
ngibrit, yang penuh vocal i ini, misalnya). Sebuah persanjakan sempurna, sebuah
pengulangan bunyi vocal ai ai ia ai minimalis yang sempurna. Dan yang datang dari
pergulatan improvisasi bunyi itu di benak kita hanya semacam pengalaman
samar–yang amat sangat tidak penting karena yang diutamakan dan diburu cuma
monotoni ritmis persanjakan ai ai ia ai atau i i i. Dan menyebabkan puisi itu
tiba-tiba jadi teramat menjemukan–hanya sederetan kata-kata artifisial yang
selesai sebagai bunyi meski menyarankan adanya satu kejadian samar. Dan
karenanya orang lari kepada simbol, pada konstelasi: yang ditampilkan dan mengemuka
itu lebih mengisyaratkan keberadaannya sesuatu yang dengan sengaja
disembunyikan dan jadi rujukan dari yang tampak atau diperkatakan–karenanya
harus dicari dalam apresiasi, dengan apresiator terlatih yang banyak membaca
puisi.
Orang membawa bunga bagi pacar untuk menyatakan cinta karena yang dibawa
itu bukan bunga ansich tapi sesuatu yang ada di balik laku kikuk dan debaran
jantung yang membuat yang membawa bunga tersipu.Tidak heran kalau di khazanah
sastra klasik, bahkan sastra mistik sufistik, ada wacana tentang si anak muda
yang gandrung dan mencari mawar merah di musim dingin, usaha yang tak sia-sia
karena ada rumpun mawar mengusahakan sekuntum bunga mekar, yang baru bisa
menjadi merah ketika seekor burung bulbul menekankan dadanya ke onak mawar dan
memuncratkan merah darah pada mawar pucat yang mekar di lain wayah itu. Sebuah
upaya meneguhkan simbol yang menuntut serangkaian pengkhianatan
sunatullah–mawar mekar di luar ketentuan alam–dan pengingkaran garis
sunatullah–bunuh diri bulbul agar darahnya memerahkan mawar cinta membara–,
ikhtiar yang percuma karena hasilnya ternyata mengecewakan–kita tahu, di akhir
cerita itu: si gadis lebih memilih pergi dengan si pria kaya yang datang naik
kereta kuda dan sengaja mencampakkan mawar merah artifisial yang mengada
mengingkari sunatullah.
DAN kita pantas mencatat: alangkah rumit dan amat artifisialnya upaya
mencari simbol yang tepat. Dan di luar konteks alam dongengan romantis tentang
gairah untuk mengungkapkan rindu yang bisa menyebabkan alam tergerak ikut
menyempurnakan cinta–meski tetap saja kita harus mencari cinta sejati yang
tidak bersipat duniawi–itu, terhampar hukum kreativitas yang berbunyi: betapa
rumit-sulitnya upaya si penyair untuk memastikan yang ingin diungkapkan, dengan
serentetan diskursus agar benar-benar pasti dengan apa yang ingin diungkapkan, dan
(sekaligus) betapa lebih sulit lagi upayanya mencari kata, ungkapan, idiom,
diksi atau imaji yang dengan sangat tepat merepresentasikan apa-apa yang ingin
disampaikan–dalam sebuah simbol yang pas-orsinil. Sementara kaum pemuja simbol
itu terkadang menuntut agar setiap puisi dan penyair tidak lagi memakai simbol
yang klise, yang arkhaik. Jangan lagi memadukan keberadaan cinta dengan bunga,
keberadaan yang suci dengan putih, keberadaan api semangat dengan merah, dan
seterusnya dan sebagainya. Sekaligus juga menuntut agar kaitan antara teks yang
berkomunikasi dengan tanda dan yang dikomunikasaikan –sebagai yang ditandai di
latar belakang itu–tidak terlalu bias atau sama sekali tidak bersinggungan.
Hindari yang gelap tak ada rambu petunjuk ke yang dirujuknya–kata TS Elliot,
harus dicarikan keseimbangan referensial dalam bentuk menyaran objective
correlation. Tapi kini, selain jenuh dengan idiom yang klise dan arkhaik, orang
juga bisa teramat muak dengan puisi yang gelap membungkam–dengan puisi
subyektif.
Karena itu puisi mulai meloncat dari persanjakan, meloncat dari patokan
baris dan bait, meloncat dari romantisme berbicara tersirat penuh intonasi demi
penekanan simbolistik–dan malahan agresif meloncat dan melarikan diri dari
seluruh kewajiban berpuisi yang baku membelenggu. Kini puisi bisa berada di
wilayah prosa yang penuh teks deskriptif atau nalar argumentatif, kini puisi
bebas bergulat dengan yang faktual berupa benda-benda riil keseharian dan
kejadian-kejadian naif sebagaimana adanya, dan karena itu puisi hanya menyapa
sebagai kilas aphorisma yang sugestif penuh rasa –dan mungkin malah sebagai
teks sengkarut dari kegemparan senewen dibombardir benda keseharian dan
peristiwa sebagaimana adanya. Dan bukan tidak mungkin puisi liar memasuki
permainan logika dari kelincahan meloncat dari hal-hal riil terhampar ke yang
instinktif dilentikkan alam bawah sadar si penyair, ke teks yang hadir terbaca
sebagai pengalaman yang lain di buku dan pengalaman pribadi, ke teks yang cuma
ada menyapa sebagai yang diperkatakan orang tanpa sempat diverifikasi, ke
fantasi agresif yang dibebaskan penyair agar mengelana dan meluruhkan setiap
liuk imajinasi yang mungkin ada, dan ke entah apa lagi. Sebuah teks yang
dipenuhi jejak loncatan di segala hal yang mungkin dan tak mungkin, teks yang
merangkum (baca: diedit secara imajinatif) sederetan pengalaman dari melakoni
apa saja yang mungkin dibayangkan–yang keseluruhannya utuh terfokus sebagai
satu petualangan mungkin.
Puisi Mardiluhung bermain di wilayah itu. Tak ada persanjakan, tak ada
simbol, tak ada bait dan baris, serta bahasa puisi baku gaya lama. Yang ada
hanyalah kalimat bersih yang benar secara tata bahasa, dan karenanya
menghadirkan pengalaman yang merangkum bentuk-bentuk kejadian berbeda tapi
berkonteks sama, atau berdimensi lain tapi asosiatif, atau cuma semacam
pembayangan yang bablas menembus sederet peristiwa fantastik–,yang relatif akan
disimpulkan sama di antara diri si penyair dan si bakal apresiator puisinya.
Dan bersama dengan fantasi liar itu, yang terkendali dan memokus itu, kita–yang
mengapresiasi puisi– ditarik, didorong dan dijerunukkannya ke serentetan
pengalaman dan fantasi subyektif; dan malah diloncatkannya ke deretan
pengalaman dan fantasi yang berlainan, yang berserakan, terpisah dan berbeda
dalam ukuran ruang, dimensi waktu, urutan kejadian, dan potensi mungkinnya.
Diterbangkan dan terhumbalang, tanpa peduli kalau bekal kejadian kesejarahan
yang telah dialami kita (sebagai apresiator) teramat berbeda dengan bekal
kejadian kesejarahan subyektif yang dialaminya, tanpa peduli kalau corak
fantasi subyektif yang dikembangkan kita teramat berbeda dengan fantasi
subyektif yang dikembangkannya–secara kodrati kita memang menghuni ruang semu
kejadian kesejarahan dan fantasi berbeda. Tapi semua keterpisahan dan keterpenggalan
itu, semua jarak dan handikap keberagaman yang jelas-jelas berbeda itu, jadi
hilang oleh pukau menjajarkannya, oleh sihir meng-kolase kejadian kesejarahan
siapa saja, yang terbaca atau cuma didengar. Kita dihipnotis oleh fantasi
berpuisi, yang meloncatkan rasa penasaran dan instink berimajinasi kita hingga
mandah mengikuti jurus berimajinasinya yang liar dan memikat–seperti tikus
disihir seruling dunia dongeng itu–, dan melebur dalam gerak spiral yang
melentikkan hal-hal baru yang mencengangkan, dan di akhir pembacaan puisi kita
lega karena dalam teks itu memang ada sesuatu yang ingin diungkapkan dengan
bantuan puzzle aneka pengalaman dan fantasi. Segala yang cuma mirip,
berdekatan, tak sekonteks dan tak selevel yang telah disetel supaya memiliki riak
asosiasif yang seirama dalam kesatuan teks–dibimbing oleh kepekaan buat
menyatukannya dalam satu konteks pengalaman, dalam satu kejadian, sehingga
semuanya membayang sebagai silhuet sugestif.
DAN itu, saya pikir, bermakna: ada yang ingin diungkapkan dan mencari
bentuk ungkapan, karenanya puisi ditulis dengan kontrol disiplin ilmu
komunikasi yang amat ketat. Dengan mengukur apa yang ingin diungkapkan,
bagaimana mengungkapkannya, dan apa kesimpulan yang nanti diambil oleh yang
membaca puisi akan identik dengan apa yang ingin disampaikan oleh penyair.
Sebuah usaha rasional yang mengandaikan adanya bacaan, pengalaman dan fantasi
yang harus diinpentaris dan ditumpuk dalam CPU ingatan sadar, atau yang
mengendap di alam bawah sadar, yang akan jadi rambu petunjuk ketika semua itu
dijajarkan karena valensinya sederajat, jadi yang ”identik” dan akan bisa
mengarahkan ke yang di sana itu. Meski yang tampak nyata dilakukan itu cuma
cermat mengumpulkan segala berita, pengalaman orang, mitos, dongengan, cerita
oral angker dan aheng dan seterusnya dari bacaan atau pertukaran lisan, dan
membiarkannya mengendap sebagai khazanah oral. Dan kecenderungan menerakan yang
lisan pada Mardi Luhung teramat kuat, ambillah diksi zik-zak yang tidak baku
dan bukannya zig-zag (puisi ”Perempuan Nila”), atau realitas arwah penasaran
yang akan kembali jadi manusia bila kepalanya dipantek–meski lebih berlaku bagi
kuntilanak,. dan bukan arwah lelaki anonim yang ingin dijadikan lelaki utuh
oleh perempuan nila–, misalnya. Atau sederet teks dongeng oral dan cerita lisan
lokal yang dikumpulkan dan tetap dibiarkan sebagai teks oral yang
bertenun-berkait jadi satu, serangkai peristiwa yang merujuk pada pernah ada
sesuatu yang terjadi di tempat itu dan dituturkan turun-temurun oleh sangat
banyak orang di tempat itu–lihat puisi ”Pacinan”, ”Kastoba” dan ”Buwun”,
misalnya.
Sebuah metoda pencatatan dan pengawetan folklor, legenda, mitos dan cerita
lisan yang aneh. Di lain kali bercerita tentang pengalaman pribadi yang
mengerikan ketika ia naik perahu dan tumbang mabuk laut karena tak terbiasa
naik kapal kecil di laut sekitar Pulau Bawean yang sejak lama dikenal selalu
menggejolak dalam puisi ”Pembuangan”–yang gamblang diceritakan dalam Kata
Pengantar untuk kumpulan puisi Buwun ini, ”Buwun: Bawean yang ke Arahku (Pulau
yang Bergandul Potongan Kuping)”. Sebuah teks yang dengan jujur menunjukkan
proses kreatif (Mardi Luhung) menuliskan puisi-puisi yang terkumpul dalam Bawun
ini, yakni dengan pasif berbiar mengalami apa saja, dengan peka tanpa prasangka
serupa kuping di pohon atau di hiasan sepatu yang mendengar apa saja, dengan
telaten fenomenologik mencatat apa pun, dan dengan membebaskan fantasi spontan
tumbuh dan menerbangkan ke mana-mana–sampai semua reda, perlahan mengendap, dan
jadi yang spontan minta ditulis-kongkritkan. Satu kesadaran yang mengatakan
bukannya penyair yang mendatangi Pulau Bawean tapi justru Pulau Bawean dengan
segala sejarah lisan, dongengan oral, dan liar fantasi naifnya — Grand Funk
(Railroad) nama band rock Amerika jadi nama group dangdut, meski grand funk
dalam khazanah lagu dangdut identik dengan pereks, misalnya–itu yang mendatangi
penyair, mengharu biru dan menterornya. Dan puisi
”Kampung Kuning”, misalnya, mencatat serta menunjukkan metoda dan pola
proses kreatif Mardiluhung dengan gamblang. Yang dimulai dengan momen ketika si
penyair kehabisan bahan sehingga ia cuma bisa berhenti menulis, melupakan apa
pun (semua) yang ingin ditulis, dengan pergi bermain dan mengeluyur ke mana
saja dan bertemu dengan apa dan siapa saja, hingga kepala terbebas dari ambisi
menuliskan ini dan itu. Dan saat ia tiba pada situasi dibebaskan secara
fenomenologik dari beban ingin nulis puisi atau pola lakon subyektif ini-itu,
maka (kini) diri tranced dipenuhi (lagi) dengan fantasi yang bermula dari pengalaman
yang dilakoni orang lain dan hanya didengarlan ceritanya, bisa mulai menuliskan
yang harus dikabarkan itu sebagai saksi tak langsung tapi merasa benar-benar
menyaksikan–atau cuma si penutur yang berimprovisasi dan membuat distorsi
cerita.
Terminologi sang penyaksi, yang ikut menyaksikan dari kejauhan, dari
dimensi lain tanpa keinginan mengganggu garis cerita yang telah terjadi dan
diguratkan takdir, seperti yang dinyatakannya dalam puisi ”Buwun” itu tampaknya
merupakan hal yang amat penting bagi penyair. Sangat utama meski terkadang
tuntutan itu hanya jadi yang tersirat seperti yang diperlihatkan dan terlihat
dalam puisi ”Pulau”, ”Kubur Panjang” atau ”Pembuangan”–dan kita tidak tahu,
apakah hal itu disebabkan fakta ia peranakan yang separuh Tiong-hoa dan separuh
Jawa, karenanya tak bisa rasuk ke wilayah bapak serta tidak bebas memasuki
wilayah ibu, dan dipersulit oleh kenyataan ia memilih jadi muallaf. Dan ada
catatan penting yang dengan sadar ditambahkannya tentang segala sesuatu yang
tak sesuai skenario dan bablas mengingkari garis wajar dan kepastian kodrat,
”[S]elalu saja letusan yang tak lumrah itu lahir belakangan”, katanya dalam
puisi ”Kuduk-Kuduk”. Karena itu siapa saja yang menyembunyikan rahasia
selingkuh, menyimpan kenangan cinta sesaat di pesisir, pulau lain atau
pelabuhan itu harus diusir dari rumah (puisi ”Orang Gunung”), akan kehilangan
segalanya sehingga hanya bisa datang ke rumah sebagai orang asing atau semacam
arwah penasaran (puisi ”Takziah” atau ”Perempuan Nila”) yang tidak lagi merasakan
nikmat surga rumah tangga berupa dirawat dan disegarkan kasih (puisi ”Ketam”).
Kenapa begitu? Bila mengikuti logika konteks kumpulan puisi Buwun ini, yang
merupakan sekumpulan puisi yang lahir dari pengalaman berbiar menyerap suasana
sosial-budaya–dan cerita-cerita lisan–di Pulau Bawean, itu karena ia telah
dirasuki sihir lokasi. Semacam kesadaran kalau tempat itu merupakan pulau kaum
perempuan, dengan para lelaki yang selalu melaut berbulan, para lelaki yang
selalu mengembara menjadi TKI di negeri asing, dan para lelaki yang pulang agar
segera pergi lagi, sehingga semua lelaki itu selalu diikat oleh kutukan dan
pengharapan para istri, supaya selalu bersetia dan teringat kepada yang
ditinggalkan. Bila tidak? Ada gunting yang menanti mereka–gunting yang akan
selalu memburu ke mana pergi. ”Gundulmu, ta putul manukmu!”, kalau mengikuti
ungkapan Surabayaan.
DALAM beberapa segi Mardi Luhung, sebagai si penyair yang menulis
puisi-puisi yang mendeskripsikan serentetan peristiwa, dongeng, kejadian.
mitos, fantasi dan aneka teks subyektif telah berhasil mengajak dan bahkan
menelikung kita untuk–suka atau tak suka–ikut-ikutan melambung dan dilambungkan
ke dalam angan-angan. Untuk ikut tersenyum tercerahkan disentakkan oleh
teks-teks yang mendeskripskani cerita, kejadian, dongeng, mitos, fantasi dan
teks apa saja yang kemunculannya dalam mozaik puisi menyegarkan karena tak
terbayangkan, dan saat mendadak tiba di ujung puisi kita serta merta menemukan
tenunan yang mungkin bisa dianggap cerita pendek atau memang puisi seperti
keyakinan penyair–menemukan sugesti akan keberadaan semacam kejadian yang samar
terfokus. Ini sebuah panorama peristiwa dan fantasia yang dalam beberapa hal
mirip sekumpulan kata-kata yang berderet dan bergabung karena mempunyai
persamaan, kesederajatan atau kesamaan valensi di dalam bunyi yang melulu
persanjakan ai ai ai ia ai atau i i i i seperti yang disinggung dalam puisi
nyinyir di atas.
***
*) Penutup BUWUN, kumpulan puisi Mardi Luhung, diterbitkan PUstaka
puJAngga, 2010.
**) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di
Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa
Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak
terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun
Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama
keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya,
terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni
memilih menulis sebagai profesi tunggalnya. http://sastra-indonesia.com/2010/07/puisi-deskriptif-mardi-luhung/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar