oase.kompas.com
Penulis cerita pendek (cerpen) Medan yang tergabung dalam Komunitas Seni Medan menerbitkan karya mereka dalam sebuah buku. Buku berjudul Kumpulan Cerpen Medan ini berisi tentang 15 cerpen berlatarbelakang beragam persoalan di Medan.
“Sepanjang yang saya ketahui, belum ada buku kumpulan cerpen yang seluruhnya bertemakan Medan. Inilah yang mendorong kmai menerbitkan buku kumpulan cerpen ini,” tutur Ketua Komunitas Seni Medan (KSM) Teja Purnama, Jumat (4/12) saat peluncuran buku di Taman Budaya Sumatera Utara.
Teja mengharapkan kumpulan cerpen ini dapat menjadi kontribusi nurani dan pikiran sastrawan kepada para pengambil kebijakan. Para penulis cerpen ini terdiri dari A Rahim Qahlar, Bersihar Lubis, Damiri Mahmud, Idris Pasaribu, Hidayat Banjar, Khairul Ikhwan Damanik, Muram Batu, Nasib TS, Rina Mahfuzah, Suilaiman Sambas, T Agus Khaidir, Teja Purnama, Ys Rat, dan Yulhasni.
Buku setebal 210 halaman ini dijual untuk umum senilai Rp 40.000. Namun pada saat peluncuran, panitia menjualnya Rp 20.000. Para penulis sebagian merupakan jurnalis, redaktur media terbitan Medan, pegawai negeri sipil, dan pekerja seni. Mereka semua memiliki pengalaman menulis baik di tingkat lokal maupun nasional.
Hadir dalam peluncuran buku ini di antaranya Wakil Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, Penjabat Wali Kota Medan Rahudman Harahap, mantan Penjabat Wali Kota Medan Afifuddin Harahap, dan sejumlah kepala dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumut dan Kota Medan.
Dialog budaya
Wakil Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengharapkan agar sering dilakukan dialog budaya. Salah satu sarana dialog tersebut ada di Taman Budaya Sumatera Utara. Dia merespon positif terbitnya buku Kumpulan Cerpen karya para penulis Medan. Melalui karya sastra, katanya, masyarakat bisa menuangkan impiannya tentang Kota Medan dan Sumatera Utara secara ideal.
Senada dengan Gatot, Afifuddin Lubis, yang juga penggagas penerbitan buku ini merespon positif karya penulis Medan. Dia berharap pembuatan karya ini tidak berhenti pada penerbita Kumpulan Cerpen Medan saja, melainkan juga pada karya-karya lain. Saya yakin masih banyak potensi karya sastra yang perlu ditumbuhkembangkan, katanya.
Dalam peluncuran buku ini salah satu cerpen berjudul Jangan Panggil Aku Katua. Cerpen yang dibacakan oleh Edi Siswanto ini memotret realitas masyarakat Medan kekinian dan masa depan. Penulis cerpen Yulhasni sekaligus ingin men gkritik budaya penyebut an katua di kalangan orang Medan. Sebutan ini sering disalahgunakan untuk memuluskan segala urusan.
Sosok Katua dalam cerpen Yulhasni, ditakuti oleh seluruh warga kota, tidak terkecuali para pejabatnya. Yulhasni menggambarkan sosok Katua ini pada akhirnya tidak ingin dipanggil katua. Dia merasa panggilan ini merupa kan kecelakaan sejarah. Karena panggilan itulah, segala hal yang melawan hukum dibenarkan.
***
http://sastra-indonesia.com/2009/12/komunitas-seni-medan-terbitkan-kumpulan-cerpen/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar