Feby Indirani
Budi Darma adalah legenda. Bukunya yang pertama saya baca adalah Olenka, dan saya takjub dengan bagaimana tubuh perempuan itu dibayangkan seperti sebuah peta. Cerita-cerita beliau membawa pembaca memasuki dunia yang asing dan ajaib, tapi sekaligus begitu nyata. Karya-karyanya selalu diperhitungkan dalam peta Sastra Indonesia dan 'membuka begitu banyak pintu tentang apa yang mungkin' dalam sebuah cerita.
Saya tentu senang ketika berkesempatan bertemu dengan beliau, di perhelatan Frankfurt Book Fair 2015 ketika Indonesia menjadi Guest of Honor. Sebagai Komite Media dan Hubungan Luar, saya membantu mengurus jadwal wawancara media asing dengan penulis-penulis Indonesia.
Pak Budi Darma sangat rendah hati, kesan itu yang langsung terasa. Kami sempat duduk berdua sebelum atau setelah wawancara itu, saya lupa. Seseorang (atau beliau sendiri) menanyakan nomor ponsel saya, dan saya memberikannya sambil menyebut nama lengkap.
“Feby Indirani..”
“Oh, Feby Indirani yang menulis di Jawa Pos itu ya? “ tanyanya.
Saya mengiyakan, artikel opini saya memang sempat beberapa kali dimuat Jawa Pos. Lalu ia memuji tulisan saya yang menurutnya ‘jernih.’
Wuih! Saya kaget, dan tentu saja ge-er diingat dan dipuji beliau. Setelah kembali ke Indonesia kami masih sempat kontakan beberapa kali. Pada 2016 ketika saya mulai menulis cerpen-cerpen yang di kemudian hari menjadi buku Bukan Perawan Maria, saya memberanikan diri untuk meminta feedbacknya.
Saya terharu karena beliau bersedia membaca, bahkan mengirimkan surat yang cukup panjang yang mencakup teori sastra dan masukan untuk tulisan saya.
Surat yang akan selalu jadi salah satu keping penting dalam perjalanan saya sebagai pengarang.
Terima kasih banyak, Pak Budi Darma. Sampai bertemu lagi di perjalanan berikutnya. Walk in Love.
Budi Darma adalah legenda. Bukunya yang pertama saya baca adalah Olenka, dan saya takjub dengan bagaimana tubuh perempuan itu dibayangkan seperti sebuah peta. Cerita-cerita beliau membawa pembaca memasuki dunia yang asing dan ajaib, tapi sekaligus begitu nyata. Karya-karyanya selalu diperhitungkan dalam peta Sastra Indonesia dan 'membuka begitu banyak pintu tentang apa yang mungkin' dalam sebuah cerita.
Saya tentu senang ketika berkesempatan bertemu dengan beliau, di perhelatan Frankfurt Book Fair 2015 ketika Indonesia menjadi Guest of Honor. Sebagai Komite Media dan Hubungan Luar, saya membantu mengurus jadwal wawancara media asing dengan penulis-penulis Indonesia.
Pak Budi Darma sangat rendah hati, kesan itu yang langsung terasa. Kami sempat duduk berdua sebelum atau setelah wawancara itu, saya lupa. Seseorang (atau beliau sendiri) menanyakan nomor ponsel saya, dan saya memberikannya sambil menyebut nama lengkap.
“Feby Indirani..”
“Oh, Feby Indirani yang menulis di Jawa Pos itu ya? “ tanyanya.
Saya mengiyakan, artikel opini saya memang sempat beberapa kali dimuat Jawa Pos. Lalu ia memuji tulisan saya yang menurutnya ‘jernih.’
Wuih! Saya kaget, dan tentu saja ge-er diingat dan dipuji beliau. Setelah kembali ke Indonesia kami masih sempat kontakan beberapa kali. Pada 2016 ketika saya mulai menulis cerpen-cerpen yang di kemudian hari menjadi buku Bukan Perawan Maria, saya memberanikan diri untuk meminta feedbacknya.
Saya terharu karena beliau bersedia membaca, bahkan mengirimkan surat yang cukup panjang yang mencakup teori sastra dan masukan untuk tulisan saya.
Surat yang akan selalu jadi salah satu keping penting dalam perjalanan saya sebagai pengarang.
Terima kasih banyak, Pak Budi Darma. Sampai bertemu lagi di perjalanan berikutnya. Walk in Love.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar