Jumat, 20 Agustus 2021

Sam Pik – Ing Tay, Satu-satunya pengaruh Sastra Cina dalam Sastra Bali

IDG Windhu Sancaya *
balipost.com
 
…., pegat jani caritayang, dadi nampi dina Cing Bing// Masan anak masembahyang, ka kuburan, muride telah mapamit, kewala sang kalih enu, Sam Pik sareng Ni Nyonyah, madabdaban jani lwas manganggur, ada taman, kema lakuna malali.
 
Demikianlah bunyi salah satu adegan dalam Geguritan Sam Pik,–sebuah cerita yang berasal dari negeri China. Cerita tersebut digubah ke dalam bahasa Bali oleh Ida Ketut Sari dari Grya Sanur pada tahun 1915, hampir satu abad yang silam. Sumber penulisan Geguritan Sam Pik tersebut adalah sebuah cerita yang ditulis dalam bahasa Melayu oleh Boen Sing Hoo pada tahun 1885 Masehi, dengan judul: “Tjerita dahoeloe kala di negeri Tjina, terpoengoet dari tjerita’an Boekoe Menjanji’an Tjina, Sam Pik—Ing Taij”. Dalam kutipan di atas dikisahkan tentang perjalanan I Babah Sam Pik dan Ni Nyonyah Ing Tay, ke sebuah taman pada hari raya Cing Bing, sebuah hari suci bagi pemeluk Khong Hu Cu. Ida Ketut Sari, penggubah Geguritan Sam Pik, rupanya sudah sangat akrab dengan komunitas Tionghoa yang bermukim di Sanur sejak abad XIX. Selain itu beliau juga mahir berbahasa Melayu, sehingga dengan mudah mentransformasikan cerita Sam Pik—Ing Tay dalam bahasa Melayu ke dalam bahasa Bali.
 
Asal-usul dan Perkembangan Cerita Sam Pik
 
Cerita Sam Pik—Ing Tay merupakan salah satu karya sastra Cina yang sangat populer di tanah air kita untuk masa lebih dari satu abad lamanya. Di Bali sendiri cerita Sam Pik—Ing Tay ini sangat populer. Sejak digubah pada tahun 1915, dan populer sebagai seni pertunjukan arja tahun 1930-an, dan sangat populer lewat pementasan drama gong Puspa Anom dari Banyuning pada dasa warsa 1970-an, cerita Sam Pik masih sangat populer hingga saat ini, khususnya di kalangan sekaa santi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sampai saat ini Cerita Sam Pik Ing Tay inilah merupakan satu-satunya pengaruh sastra Cina dalam kesusastraan Bali. Kenyataan ini cukup mengherankan, mengingat pengaruh kebudayaan Cina dalam kebudayaan Bali telah berlangsung sejak beberapa abad yang silam. Sejumlah orang bahkan secara salah kaprah menyebut bahwa barong landung di Bali sebagai Barong Sam Pik.
 
Menurut Profesor Tjan Tjoe Siem (mantan Dekan FSUI tahun 1956), cerita ini diperkirakan berasal dari abad ke-4 Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan dinasti Chin Timur antara tahun 317–420 Masehi. Kisah Sam Pik—Ing Tay ini disebutkan terjadi pada masa pemerintahan raja Bok Tee, raja kelima dinasti Chin Timur, yang memerintah dari tahun 345 – 357 Masehi. Pada mulanya cerita ini adalah berupa cerita rakyat atau cerita lisan saja. Seperti lazimnya cerita-cerita rakyat, kisah ini anonim dan mempunyai beberapa versi. Claudine Salmon, seorang peneliti sastra Melayu—Tionghoa, mengatakan bahwa cerita Sam Pik—Ing Tay ini semula berbentuk balada, kemudian diterjemahkan dalam bentuk prosa. Setelah zaman dinasti Chin Timur, cerita ini kemudian berkembang pada zaman dinasti Sung awal, antara tahun 960—1279 Masehi. Selama masa pemerintahan dinasti Yuan (1279 – 1368) cerita yang semula berupa cerita rakyat atau cerita lisan ini mulai hadir dalam bentuk drama. Cerita ini terus berkembang dan mengalami penambahan dan diubah pada masa pemerintahan dinasti Ming (1368 – 1644), sehingga banyak hal-hal yang baik dalam cerita atau legenda itu telah hilang, dan beberapa versi cerita yang muncul kemudian telah berisi tambahan-tambahan yang artifisial, dimana cerita dibuat berakhir dengan happy, dengan cara menghidupkan kembali tokoh Sam Pik dan Ing Tay. Salah satu versi Geguritan Sam Pik dari Kerambitan, Tabanan juga menunjukkan hal yang sama. Dalam bentuk cerita lisan, akhir cerita tidak dikotori oleh hal-hal yang vulgar, tetapi dengan cara puitis, di mana tokoh Sam Pik dan Ing Tay dihadirkan dalam bentuk sepasang kupu-kupu atau burung, sebagaimana ditunjukkan dalam versi Geguritan Sam Pik karya Ida Ketut Sari.
 
Cerita yang terjadi pada zaman dinasti Ching Timur ini kemudian menjadi sangat terkenal pada masa pemerintahan dinasti Tang, antara tahun 618—906 Masehi. Motif-motif dalam cerita Sam Pik—Ing Tay yang tampak kemudian, atau seperti yang kita kenal sekarang, adalah motif-motif cerita yang dibentuk pada zaman dinasti Tang. Versi cerita Sam Pik-Ing Tay dari dinasti Tang ini dibuat oleh Zhang Du. Dari cerita yang dibuat Zhang Du inilah cerita Sam Pik-Ing Tay terus berkembang dengan berbagai variasi. Menurut Lu Gong, munculnya motif di mana Sam Pik dan Ing Tay berubah menjadi sepasang kupu-kupu, sebagaimana tampak dalam Geguritan Sam Pik, muncul pertama kali pada zaman dinasti Sung yang memerintah dari tahun 960 – 1279 Masehi. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, cerita Sam Pik—Ing Tay telah digubah dalam bentuk drama dan balada selama masa dinasti Sung dan Yuan (1279 – 1368). Selama masa pemerintahan dinasti Ming (1368 – 1644) dan dinasti Qing (1644 – 1911), cerita Sam Pik-Ing Tay dalam satu atau lain bentuk telah tersebar hingga ke luar Cina, seperti Korea, Jepang, dan Vietnam. Cerita Sam Pik—Ing Tay kemudian muncul sebagai cerita populer dan standar dalam bahasa Hokkian di provinsi Fujian—daerah Cina Tenggara. Dari daerah inilah cerita Sam Pik—Ing Tay kemudian dibawa keluar oleh para migran menuju Taiwan dan Asia Tenggara (Lu Gong dalam George Quinn, 1987), termasuk Indonesia.
 
Cerita yang Benar-benar Tejadi
 
Cerita Sam Pik—Ing Tay dianggap sebagai cerita yang benar-benar terjadi. Pandangan ini sejalan dengan pengertian orang Cina tentang sastra. Bagi bangsa Cina, sastra tidak mempunyai arti sebagaimana yang kita berikan pada istilah itu, sehingga Nio Joe Lan (1966) kemudian memberikan arti sastra sebagai sejarah yang diromanisasikan.
 
Menurut Lin Yu-tang, orang Cina membagi kesusastraannya menjadi dua, yaitu: (1) kesusastraan yang memberi pengajaran (kesusastraan yang menjadi “kendaraan kebenaran”), dan (2) kesusastraan yang bersifat menghibur (kesusastraan yang menjadi “pernyataan perasaan tergerak”). Kesusastraan dalam arti pertama adalah bersifat objektif dan bersifat memaparkan, dan kesusastraan dalam arti kedua adalah bersifat subjektif dan liris. Bagi orang Cina, sastra dalam arti yang pertama lebih bernilai—karena memajukan pikiran rakyat dan mempertinggi akhlak masyarakat—daripada sastra dalam arti yang kedua. Sebagaimana dikatakan Andries Teeuw, sastra Cina menganggap pentingnya sastra sejarah sebagai kategori naratif utama, di mana justru rekaan, fiction, dianggap rendah.
 
Berdasarkan pengertian sastra seperti itu tidaklah mengherankan bila cerita Sam Pik—Ing Tay dianggap sebagai cerita yang benar-benar ada (bersifat sejarah), bukan rekaan—meskipun dalam perkembangannya cerita Sam Pik—Ing Tay telah banyak mengalami perubahan dan berbagai tambahan dari waktu ke waktu.
 
Dua buah cerita Sam Pik—Ing Tay dalam sastra Melayu—Cina (Melayu – Tionghoa) secara tersurat mencantumkan keterangan bahwa cerita ini adalah swatoe tjerita jang telah kedjadian betoel di benoewa Tiongkok gubahan Oei Soe Tiong (1922), atau satoe tjerita jang terdjadi di djaman dahoeloe kala di Tingkok (anonim, tanpa tahun). Kesan bahwa cerita Sam Pik—Ing Tay ini dianggap sebagai cerita sejarah juga tampak pada tulisan Ahmad Setiawan Abadi (1990), sebagai berikut.
 
Menurut catatan-catatan sejarah kisah ini terjadi pada masa pemerintahan raja Bok Tee, raja kelima dinasti Chin Timur yang memerintah dari tahun 345-357 Masehi. Oleh karena kisah ini meliputi waktu sekitar 3—4 tahun saja dalam periode kehidupan Eng Tay dan San Pek, yaitu sejak Eng Tay berusia sekitar 17 hingga 20 atau 21 tahun, dan San Pek, 18 hingga 21 atau 22 tahun, maka boleh jadi Eng Tay dan San Pek lahir sebelum masa pemerintahan Bok Tee. …. sehingga sebagian kaum cendekiawan / terpelajar, termasuk San Pek dan Eng Tay, diduga telah dapat membaca buah-buah pikiran besar seperti yang terekam dalam Ngo Keng (Mandarin Wu Ching , atau ’Lima Klasik’), Su Si (’Empat Kitab’ ), Tao Te Ching, dan lain-lain.
 
Dalam perkembangan selanjutnya cerita Sam Pik—Ing Tay telah mengalami berbagai bentuk transformasi, dari bentuk cerita lisan, balada, prosa, drama, opera, hingga film (Prijono, 1956), dari bahasa Cina, Melayu, Jawa, Bali, Madura, Indonesia, sampai ke bahasa Inggris. Pada tahun 1954 di RRC sendiri cerita Sam Pik—Ing Tay diterbitkan dalam bentuk cerita bergambar dengan judul “Liang Shan Bo Yu Zhu Ying Tay”. Di samping itu cerita Sam Pik—Ing Tay juga tersebar luas ke beberapa bagian dunia, seperti Korea, Jepang, Taiwan, Vietnam, Indonesia, dan Inggris. Dalam versi Bali, cerita Sam Pik—Ing Tay telah disesuaikan dengan latar belakang sosial budaya Bali serta historis, khususnya dengan situasi di mana sekolah-sekolah modern sudah mulai banyak dibangun di seantero Bali, ketika Bali telah ditaklukkan seluruhnya oleh Belanda. Salah satu motif penulisan cerita Sam Pik—Ing Tay di tahun 1915 adalah mendorong orang-orang Bali untuk mau bersekolah.
***

*) IDG Windhu Sancaya, Dosen Fakultas Sastra Unud /04 Maret 2012 | BP http://sastra-indonesia.com/2012/04/sam-pik-ing-tay-satu-satunya-pengaruh-sastra-cina-dalam-sastra-bali/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita