Minggu, 22 Agustus 2021

Novel Orang-Orang Bertopeng (24)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
 
Teguh Winarsho AS
 
LIMA BELAS
 
UMI mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Wajah Umi muram, gelisah. Gelisah karena Fatma belum pulang. Fatma sengaja pergi meninggalkan rumah, begitu kira-kira kesimpulan Umi. Tapi diam-diam orang-orang kampung mulai tahu apa yang melatarbelakangi kepergian Fatma. Apa yang membuat gadis cantik dan pendiam itu tiba-tiba pergi dari rumah tanpa pamit. Mereka tidak sepenuhnya menyalahkan Fatma.
 
Tapi benarkah Fatma sengaja pergi meninggalkan rumah? Bukan diculik oleh gerombolan orang bertopeng atau dibawa pergi makhluk halus yang konon suka iseng membawa pengantin perempuan pada malam pertama? Tiba-tiba Umi ragu dengan pikirannya semula. Apalagi ketika Umi ketemu dengan Hasbil, perempuan tua yang dikenal sebagai paranormal. Hasbil membenarkan dugaan Umi yang terakhir.
 
Hasbil bilang bahwa semalam ia melihat kelebat bayangan jubah hitam melintas di udara, melayang-layang lalu menghilang di dalam hutan. Menurut Hasbil, pemilik jubah hitam itu adalah makhluk halus yang suka membawa pengantin perempuan di malam pertama. Makhluk itu berwujud laki-laki, tinggi besar, berwajah buruk, bertaring tajam seperti drakula. Gerakan makhluk itu sangat cepat, tak bisa ditangkap oleh mata manusia biasa. Hanya orang tertentu yang bisa melihat gerakan makhluk itu. Meski tidak jelas kebenarannya, tapi seperti biasa cerita itu segera menyebar sampai pelosok kampung.
 
Mula-mula cerita itu disampaikan Burhan kepada orang-orang yang sedang berjaga-jaga ditepi jalan. Orang-orang itu mengangguk-angguk, percaya. Apalagi sumbernya dari Hasbil. Semua orang kampung kenal dengan perempuan tua yang sering menyepi di tempat-tempat keramat itu. Akhirnya cerita dengan cepat menyebar. Bahkan lebih cepat dari langkah kaki Burhan sendiri.
 
Buktinya, ketika Burhan bertemu dengan satu dua orang di tengah jalan, atau yang tiba-tiba lari dari teras rumah menyongsong dirinya, pertanyaan yang diajukan hampir sama: “Di mana makhluk halus itu membawa Fatma pergi?” Atau, “Kau lihat sendiri seperti apa wujud makhluk halus itu?”
 
Umi masih mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Sementara Abah duduk di kursi teras rumah. Wajah Abah terlihat sangat tegang. Sesekali Abah menghisap rokoknya dalam-dalam dan membiarkan asapnya keluar sendiri lewat hidung atau mulut hingga sesekali wajahnya tidak kelihatan. Orang-orang yang datang dan pergi silih berganti di rumah itu, tak ada yang berani mengajak bicara Abah, kecuali Abah sendiri yang memulai.
 
Salman adalah orang yang paling sibuk. Hampir semalaman ia tidak tidur. Semua teman-teman dekatnya ia kerahkan untuk mencari Fatma. Bahkan Salman berjanji akan memberi hadiah uang kepada siapa saja yang berhasil menemukan istrinya dalam keadaan selamat. Tentu saja Salman tidak main-main dengan janjinya itu.
 
Tapi sayang, keinginan teman-teman dekat Salman untuk memiliki lembar-lembar uang dari Salman akhirnya musnah ketika tiba-tiba Fatma muncul dari jalan depan. Langkah Fatma gontai, sempoyongan. Rambutnya kusut. Wajahnya lelah. Orang-orang segera mengerubungi Fatma, kawatir jika tiba-tiba Fatma terjatuh. Tak terkecuali Umi yang larinya paling cepat disusul Abah. Melihat kondisi Fatma yang begitu buruk, Umi tidak jadi marah-marah. Beberapa perempuan segera berebut memapah Fatma, memijit-mijit tengkuknya, kepalanya, seolah merekalah orang pertamakali yang menemukan Fatma.
 
“Minggir! Minggir!” seseorang berteriak dengan penuh semangat menyibak kerumunan.
 
“Awas, awas, kasih jalan! Kasih jalan!” seseorang lain menyahut.
 
“Hai, Rukis, Tuni, siapkan air panas. Dan kau Atimi, jangan bengong saja. Ambil minyak angin di laci meja. Cepat!!” Umi ikut-ikutan berteriak. Rukis, Tuni dan Atim segera lari ke dalam.
 
“Panggil Hasbil. Suruh kesini!”
 
“Tidak usah, tidak usah…..” tiba-tiba mulut Fatma bersuara. Lirih.
 
Mendengar suara itu Umi lega. Konon orang yang baru kembali (atau dipulangkan) dari tempat persembunyian makhluk halus tiba-tiba jadi bisu. Tapi ternyata Fatma tidak.
 
Fatma direbahkan di atas ranjang. Seorang laki-laki, masih muda, duduk bersila di lantai, di samping Fatma. Matanya terpejam. Mulutnya komat-kamit membaca mantera untuk mengusir roh halus di tubuh Fatma. Asap kemenyan terus mengepul dari pojok kamar. Salman yang berdiri di belakang laki-laki bersila itu terbatuk beberapa kali. Wajah Salman mulai terang. Kedua matanya tak berkedip menatap sesosok tubuh molek di atas ranjang.
 
Tapi Fatma masih terbaring lemah di atas ranjang. Matanya terpejam. Rapat.
 
Kalau bukan karena suara ribut-ribut di luar mungkin Salman masih akan terus menatap tubuh istrinya. Tapi suara itu jelas mengganggu konsentrasinya. Dengan penuh keengganan Salman keluar. Di sana Salman mendapati orang-orang berkerumun, merapat, dengan sorot mata ketakutan. Anak-anak kecil dan gadis remaja masuk ke dalam rumah.
 
“Ada apa?” tanya Salman keheranan.
 
“Ada suara tembakan. Berkali-kali,” jawab Abah memendam cemas.
 
“Di mana?”
 
“Di dekat sungai. Pinggir hutan.”
 
“Gerombolan orang bertopeng itu mungkin akan mengacau lagi,” sahut seseorang.
 
“Aku sudah menduga semua ini pasti akan terjadi lagi.”
 
“Ya. Sudah lama mereka tidak kelihatan batang hidungnya.”
 
“Mungkin kemarin mereka sedang menyusun kekuatan.”
 
“Sekarang sudah saatnya kita melawan!”
 
“Ya, melawan!”
 
Suara itu sahut-menyahut membuat suasana gaduh.
 
“Baiklah, sekarang ambil senjata dan kita mulai bergerak. Ayo, cepat!” Tiba-tiba Salman berteriak. Keras.
 
Orang-orang segera lari ke rumah masing-masing mengambil senjata. Dan hanya sebentar mereka sudah kembali berkumpul. Rencong, Parang, sabit, pedang, golok, berkelebat di udara. Suasana semakin gaduh. Penuh teriakan histeris.
 
“Diam semuanya! Diam!!” seseorang berteriak keras. Suasana sedikit reda.
 
“Sekarang kita bagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyisir sepanjang aliran sungai Kiwang sampai perbatasan kampung. Kelompok kedua menyisir tepi hutan dan bukit-bukit yang ada di sekitarnya. Sedang kelompok ketiga berjaga-jaga di setiap sudut kampung. Amati setiap gerak-gerik yang mencurigakan. Jangan sampai lengah. Ayo, lekas berangkat!”
 
Sesuai dengan kelompok masing-masing mereka segera berangkat. Ada dua belas orang dalam kelompok yang dipimpin Salman. Mereka mendapat jatah menyisir tepi hutan dan bukit-bukit yang ada di sekitar Buntul Kemumu. Tugas ini agak berat di banding tugas dua kelompok lainnya. Tapi kelompok ini kebanyakan anak-anak muda.
 
Begitulah, dua belas pemuda itu terus mengikuti langkah Salman melewati jalan setapak bebatuan. Ini adalah jalan pintas menuju kampung Buntul Kemumu. Seseorang memberi tahu Salman, bahwa gerombolan orang bertopeng biasanya berada di hutan dekat kampung Buntul Kemumu. Jalan menuju hutan Buntul Kemumu cukup berat. Jika tidak hati-hati bisa terpeleset jatuh masuk jurang. Tapi Salman dan dua belas temannya sudah tahu bagaimana caranya berjalan di jalan seperti itu.
 
Belum ada lima ratus meter Salman dan teman-temannya melintas jalan setapak menuju hutan Buntul Kemumu, diam-diam dua pasang mata, tajam, terus mengawasi gerak-gerik mereka dari balik gerimbun daun sembari mengarahkan moncong senapan. Siapapun orangnya tidak akan mengenali pemilik dua pasang mata itu karena yang seorang wajahnya ditutup dengan topeng, sedang seorang lagi dibebat kain hitam. Yang terlihat hanya dua bola mata merah mencorong penuh api dendam.
 
Tepat ketika Salman berhenti sebentar, menyulut rokok, lalu melemparkan sisanya kepada teman-temannya, terdengar dua kali ledakan keras, membuat orang-orang yang sedang asyik menikmati hisapan rokok itu tanpa basa-basi menjatuhkan diri ke tanah, tiarap. Cukup lama mereka bertiarap dan mungkin akan lebih lama lagi jika mereka tidak mendengar suara orang merintih kesakitan. Semakin lama suara itu semakin terdengar keras.
 
“Salman!!” tiba-tiba seseorang berteriak keras, menghambur ke arah Salman tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri karena boleh jadi akan ada tembakan susulan.
 
Tindakan orang itu rupanya segera diikuti oleh teman-teman lainnya. Tapi percuma, sia-sia, Salman keburu tewas dengan mata melotot dan bentuk bibir meregang, penyot, seperti menahan rasa sakit luar biasa setelah satu peluru menembus dada dan satu peluru lagi menghunjam tepat di antara kedua matanya. Darah segar berlumuran membasahi pakaian Salman.
 
Empat orang segera membopong tubuh Salman dibawa pulang. Sisanya meneruskan tugas.
 
Tidak jauh dari tempat itu, di balik gerimbun daun dan barisan pohon jati lebat, dua orang laki-laki berjalan cepat dengan cara merundukkan badan. Yang seorang memakai topeng, sedang seorang lagi membebat wajahnya dengan kain hitam dan masih diikat lagi dengan kain merah.
 
(bersambung)
***

http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-24/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita