Hermawan Mappiwali
sulselsatu.com, 21 Mar 2019
Sebuah novel sastra berjudul Napak Tilas Merah Jambu (NTMJ) terlahir dari tangan seorang penulis perempuan berdarah Makassar, Andi Neneng Nur Fauziah. Ia sendiri lahir 24 tahun silam. Melalui NTMJ, Fauziah sapaan akrab penulis, menuang sebuah realita bagaimana peliknya jika seorang pria ingin menikahi perempuan Bugis-Makassar. Akibatnya, banyak “bujangan” di mana-mana.
Bagaimana tidak, tidak sedikit dari kaum pemuda yang telah berusia lanjut hingga 30 tahun ke atas namun belum juga mengakhiri masa lajangnya. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh mereka yang belum mapan, namun mewabah ke mereka yang telah mapan sekalipun.
Penulis NTMJ yang kini tengah mengenyam Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia di Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar itu pun memandang jika realita itu tak lepas dari sejumlah faktor sosial yang tidak kalah peliknya.
“Pernah suatu hari saya menanyakan ke rekan-rekan mengenai usia dan pernikahan. Simpel saja jawabnya “bukan, tidak ingin menikah, kami sudah butuh berdua hanya saja tradisi uang panai Bugis Makassar sekarang semakin melenceng, berlomba banyak-banyaklah, gengsi sosial dan sebagainya,” ujar Fauziah saat coba ditemui Sulselsatu, Kamis (21/3/2019).
“Yang lain mengatakan “andai saja ada orangtua yang paham menyoal rukun nikah dalam agama tanpa memasukkan unsur gengsi sosial, itu akan lebih baik dan mudah,” imbuhnya.
Akhirnya, realita dengan segala kerumitan sosialnya itu lantas digambarkan penulis ke dalam dua anak manusia sebagai tokoh utama dalam NTMJ. Keduanya datang dari perihal kesamaan nasib, pernah terkhianati oleh pasangan masing-masing.
“Lalu takdir mempertemukan mereka, kemudian memisahkan dalam waktu 5 tahun bersama cinta dalam diam yang mereka simpan rapat-rapat tanpa adanya pengungkapan satu sama lain, membiarkan tangan-tangan Rab-Nya yang mengurus apa yang ada di hatinya, selebihnya ia mempersiapkan diri mengupgrade diri masing-masing,” terang Fauziah mengenai sinopsis NTMJ.
Dengan latar cerita dalam NTMJ tersebut, pembaca bakal dibawa merasakan sebuah perjalanan bersama kisah kedua tokoh utama itu. Lalu bersiaplah menjelajahi Nusantara bagian Sulawesi Selatan yang diwarnai dengan wejangan-wejangan hidup tersirat atau tidak. Sebuah penuntun perjalananmu hari ini, esok dan masa akan datang.
Pasalnya, sebuah perjalanan alias sebuah adventure di belahan alam menjadi bagian utama saat penulis membangun kisah dalam NTMJ. Selain itu, sebuah restu dari orang tua juga menjadi norma yang dibawa ke dalam novel. Tak ada budaya Silariang yang selama ini kerap mewarnai cinta buta yang tak berlogika.
Fauziah sendiri meyakini, jika memang pria mencintai seorang perempuan atau jatuh hati pada seorang perempuan namun belum mampu dari segi apa pun, maka cukup disimpan saja perasaan itu, lalu, carilah jalan yang baik agar bisa mempersuntingnya.
“Yang seperti ini lebih ridho. Soal hatinya serahkan saja ke Rabb. Cukup upgrade diri anda masing-masing, kalau Rabbnya atur akan end dengan cara-cara yang mengejutkan,”ujarnya.
NTMJ juga menjadi cara penulis mengamini pemikirannya bahwa pria tak layak diberatkan melebihi dari kesanggupannya jika ingin memuliakan perempuan dengan sebuah lamaran. Bukankah keberaniannya datang melamar itu punya nilai yang baik ketimbang mengajakmu berpacaran maksiat, ia memilih menjauhi maksiat.
Keinginan pernikahan, lanjutnya, adalah sebuah kepekaan agar diterima dengan baik dalam keluarga perempuan kelak, dengan cara menjemputnya dengan baik. “Karena pernikahan bukan hanya dua hati melainkan dua keluarga berbeda yang ingin disatukan pandangannya,” pungkasnya.
Sementara itu, salah satu Pakar Sastra sekaligus dosen PPs UNM. Prof. Muh. Rapi Tang mengakui NTMJ memiliki kualitas. Bernuansa Islami, tema cinta yang diangkat bukan kisah cinta masa kini melainkan kisah cinta yang masih pada koridor agama, cinta dalam diam.
“Penulis, pertahankan karakteristik penulisannya dengan apa yang sudah diangkat dalam novel ini yaitu, adat dan agama. Meski pun kebanyakan penulis sekarang berada pada genre modern,” ujarnya.
Prof. Rapi juga mengatakan bahwa NTMJ dari segi ciri-ciri karya sastra sudah memenuhi syarat, yakni umumnya diawali perseorangan, pribadi dua anak manusia, memiliki tema cinta, pesan moral, kisah cinta islami, kepatuhan anak ke orangtua terhadap pentingnya sebuah restu.
***
http://sastra-indonesia.com/2021/08/napak-tilas-merah-jambu-ntmj/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar